La Maddaremmeng, Sosok Raja Bone Hapus Perbudakan di Tanah Bugis

Ilustrasi perbudakan. (Dok: Ist)

PRIBUMI.co.id, Historia – Raja Bone ke-13 La Maddaremmeng (1631-1644) sangat fanatik terhadap ajaran Islam dan berusaha menjalankannya di tengah-tengah penduduk secara murni dan konsekuen.

La Maddaremmeng diketahui menerima pelajaran agama dari qadhi Bone, Faqih Amrullah.

Saat memimpin Kerajaan Bone, dia memerintahkan kepada rakyatnya untuk memeluk dan menjalankan ajaran Islam secara patuh.

Bahkan, kerajaan tetangga seperti Soppeng, Wajo, dan Ajatappareng, juga dianjurkan menjalankan hal yang sama di Kerajaan Bone.

Sejak La Maddaremmeng memimpin Bone, ajaran Islam menyebar dan ditaati oleh penduduk dalam waktu relatif singkat.

Raja Bone ke-13 ini juga dikenal anti perbudakan, hingga pada suatu waktu dirinya memutuskan larangan perbudakan, semua hamba sahaya harus dimerdekakan, budak yang dipekerjakan harus diberi upah yang sama dengan pekerja lainnya.

Ketetapan ini diberlakukan bagi semua bangsawan dan penguasa daerah, tanpa kecuali.

Lewat pengumuman, dia mengundang tantangan dari para petinggi kerajaan, kaum bangsawan dan penguasa daerah bagi yang tidak setuju menaati ketetapan tersebut.

Baca Juga :  Wahidin Sudirohusodo Bangkitkan Perjuangan Kemerdekaan

Tentu hal itu membuat semua pihak terkejut, pasalnya para petinggi dan bangsawan kala itu merasa kehilangan wibawa di mata rakyat umum.

Di antara pembesar kerajaan dan bangsawan yang menentang kehendak La Maddaremmeng adalah ibu kandungnya sendiri, We Tenrisoloreng Datuk Pattiro.

Saat itu, We Tenrisoloreng Datuk Pattiro bersama dengan para bangsawan ingin tetap memeluk kepercayaan lama (pra Islam).

We Tenrisoloreng akhirnya menyingkir ke Kerajaan Gowa untuk mengadu dan meminta perlindungan dari raja Gowa ke-15, Sultan Malikus Said (1639-1653).

Raja Gowa saat itu berusaha menyelesaikan secara damai perselisihan antara Raja Bone ke-13 dengan We Tenrisoloreng Datuk Pattiro, namun hal itu tidak berhasil.

Hingga akhirnya, Sultan Malikus Said menilai La Maddaremmeng “tidak berbuat tenang” dalam pemerintahaannya, tentu hal itu dianggapnya dapat mengganggu rencana Kerajaan Gowa dalam menghadapi musuh dari kompeni Belanda.

Kebesaran Gowa di bawah kekuasaan Sultan Malikus Said, mengangkat dirinya sebagai “Polisi” bagi kerajaan-kerajaan yang ada di daratan Sulawesi Selatan.

Baca Juga :  Gus Dur Tertawa saat Lengser dari Istana

Dia berdalih ingin melindungi seorang ibu dari anaknya yang durhaka, maka Sultan Malikus Said menyatakan perang kepada Kerajaan Bone.

Pada tahun 1644, perang tak terelakkan. Laskar Gowa dibantu oleh sekutunya menghadapi pasukan Bone, perang berlangsung dengan hebatnya.

Jumlah laskar Gowa dengan persenjataan lengkap tidak sebanding dengan kekuatan pasukan Bone, sehingga La Maddaremmeng bersama saudaranya La Tenriaji Tosenrima terdesak meninggalkan Kerajaan Bone, mereka menyingkir ke Larompong, lalu berpindah ke Cimpu, kerajaan Luwu.

Pada tahun itu pula, Raja La Maddaremmeng tertangkap dan dibawa ke Gowa untuk diasingkan ke Sanrangeng, sedang La Tenriaji lolos dari penangkapan, kemudian hari ia kembali ke Bone.

Kekalahan La Maddaremmeng dalam perang tersebut membuat Kerajaan Bone mengalami kekosongan kepemimpinan, sehingga dengan Bone dijadikan wilayah jajahan kerajaan Gowa yang dikenal dengan istilah “naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana (maka diperhambalah Bone tujuh belas tahun lamanya)”.

Penulis: Dg Marala Andi Mappaita

Dapatkan Berita Terupdate dari Pribumi.co.id di: