PRIBUMI.co.id, Historia – 10 Maret 1998, Soeharto kembali dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh kalinya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1998.
Keesokan harinya, dia diambil sumpahnya di gedung kura-kura, kawasan Senayan Jakarta.
Berbeda dengan pengambilan sumpah jabatan yang sebelumnya, kali itu ada peristiwa yang mengejutkan.
Ketua DPR/MPR kala itu, Harmoko, yang saat itu mengetukkan palu untuk menutup sidang, terkaget-kaget karena palunya patah setelah diketukkan.
Kejadian itu adalah kejadian pertama sepanjang sejarah di Republik Indonesia.
Harmoko yang notabene punya posisi jabatan kenegaraan yang lebih tinggi dari Pak Harto, malah minta maaf atas kejadian itu. Seolah mengerti kondisi itu, Pak Harto menghibur.
“Mungkin palunya longgar,” katanya.
Akan halnya Harmoko, tidak semudah Soeharto menyikapi soal palu itu. Dia kepikiran terus.
“Patahnya palu itu bukan suatu kebetulan belaka. Seolah ada isyarat dari kejadian itu,” ungkapnya dalam buku ‘Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko’ yang ditulis Firdaus Syam.
Percaya atau tidak, ternyata itu adalah pertanda buruk bagi kepemimpinan Soeharto.
Hanya beberapa bulan berselang, Harmoko mengirim sinyal agar Pak Harto mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Dan itu benar-benar dilakukan oleh Pak Harto 21 Mei 1998.
Penulis: Zainal Abidin S
Sumber: Historia